Pentingnya Kader Pondok Pesantren Mengambil Peran Dalam Pemerintahan

Sinopsis.co.id, JEMBER – 10 Januari 2024. Keberadaan 611 Pondok Pesantren yang terdaftar secara formal menjadikan Jember sebagai Daerah dengan jumlah terbanyak di Jawa Timur. Tidak mengherankan bila kehidupan masyarakat di Kabupaten Jember diwarnai dengan pola hidup religius sebagaimana dipraktekkan sehari-hari di lingkungan Pondok Pesantren.

Pondok pesantren memiliki fungsi sebagai lembaga pendidikan dan dakwah serta lembaga kemasyarakatan yang telah memberikan warna kehidupan tersendiri terutama di daerah pedesaan. Ia tumbuh dan berkembang bersama warga masyarakatnya sejak berabad-abad.

Tidak hanya secara kultural bisa diterima, tapi bahkan telah ikut serta membentuk dan memberikan gerak serta nilai kehidupan pada masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang, figur kyai dan santri serta perangkat fisik yang memadai sebuah pesantren senantiasa dikelilingi oleh kultur yang bersifat keagamaan. Kultur tersebut mengatur hubungan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
Karena sebagian besar jumlah tersebut di atas justru terletak di daerah pedesaan, maka pondok pesantren telah ikut berperan aktif di dalam mencerdaskan bangsa khususnya masyarakat lapisan bawah dan membawa perubahan positif bagi lingkungannya sejak ratusan tahun yang lalu.

Pesantren dapat juga disebut sebagai lembaga non formal, karena eksistensinya berada dalam jalur sistem pendidikan kemasyarakatan, pesantren memiliki program yang disusun sendiri dan pada umumnya bebas dari ketentuan formal, non formal dan informal yang berjalan sepanjang hari dalam sistem asrama.

Dengan demikian pesantren bukan saja lembaga belajar, melainkan proses kehidupan itu sendiri.

Peranan pesantren yang paling penting adalah sebagai transformasi kultural yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat yang agamis.
Jadi, pesantren sabagai jawaban terhadap panggilan keagamaan, menegakkan ajaran dan nilai-nilai agama melalui pendidikan keagamaan dan pengayoman serta dukungan kepada kelompok-kelompok yang bersedia menjalankan perintah agama dan mengatur hubungan mereka secara pelan-pelan.

Pesantren berupaya merubah dan mengembangkan tatanan, cara hidup yang mampu menampilkan sebuah pola kehidupan yang menarik untuk diikuti. Gambaran ini menjelaskan fungsi pesantren yang tidak hanya sebagai lembaga pendidikan saja, melainkan juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama.

Namun manakala ditelisik secara mendalam maka kita dapati situasi yang cukup memprihatinkan dimana dengan fungsi, peran dan kiprahnya selama ini Pesantren masih dipandang sebelah mata. Dari aspek legal formal, pendidikan salaf yang telah banyak memberi kontribusi terhadap kehidupan bernegara dipandang remeh. Bayangkan seandainya tanpa dasar kekuatan akidah dan kecintaan terhadap bangsa dan Negara, yang ditanamkan melalui pendidikan model salaf di Pesantren maka resolusi jihad KH Hasyim Asyhari bisa jadi tidak menggerakkan qolbu dan fikiran santri dan pejuang kemerdekaan saat itu.
Maka atas Izin Allah SWT pendidikan salaf pesantren telah melahirkan resolusi jihad, kekuatan akidah dan kecintaan terhadap bangsa dan Negara hingga menghantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaannya. Di masa kemerdekaan yang telah berusia 77 tahun ini justru pendidikan model formal ala-ala penjajah Belanda yang mendapat pengakuan secara legal formal dalam kehidupan bernegara kita.

Baca Juga  Lomba Maulidud Diba' Menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharrom 1446 H Di Kelurahan Patrang Kecamatan Patrang

Tanpa bermaksud membandingkan atau berkeluh kesah, ketika founding father bangsa ini menyatakan bahwa “… Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,……” Jelas bahwa Pemerintah wajib melindungi segenap bangsa Indonesia.

Istilah yang dipakai segenap agar tidak ganjil karena istilah segenap bermakna utuh dan menyeluruh. Dalam konteks pendidikan maka sudah saatnya setelah berusia 77 tahun Pemerintah mengkoreksi kebijakanya dengan prinsip JAS MERAH.

Sudah saatnya pendidikan model salaf dan dalam wadah Pondok Pesantren ikut serta mendapat pengakuan legal formal, seraya tetap menghormati dan tidak perlu mengurangi keberadaan pendidikan model lain.

Keberpihakan dan perwujudan kebijakan ini akan lebih nyata sekiranya anak-anak bangsa aktivis dan alumni pondok pesantren mendapat kesempatan menjadi pengambil keputusan di Negeri ini, semisal menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati atau Walikota.

Sayangnya, system politik dan praktek demokrasi yang berjalan saat ini telah terkontaminasi dengan paham-paham kapitalisme sehingga memunculkan patologi kronis transaksi jual beli suara yang menjadikan electoral system menjadi mahal yang hanya bisa dijangkau oleh para calon pengambil keputusan yang berduit saja.
Hal inilah yang menyebabkan calon pemimpin pemerintahan hanya berasal dari kalangan berduit, entah dengan cara apa duit didapatkan.
Fakta ini jelas tidak berkesesuaian dengan paham pendidikan salaf yang menekankan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari yang memungkinkan setiap warga Negara memiliki daya juang optimal berdasar nilai-nilai utama kehidupan yang terbukti membawa bangsa ini menghirup udara kemerdekaannya.

Baca Juga  SUDAH SAATNYA SANTRI MEMIMPIN JEMBER. Memperbaiki Carut Marut Tatanan Birokrasi dan Memberikan Perhatian Lebih Baik Untuk Pesantren, Salahsatu Faktor GUS JADDIN Maju Untuk P1 BUPATI JEMBER.

Sudah saatnya pilar demokrasi dijalankan dengan benar yakni setiap proses demokrasi hendaknya berjalan diatas hukum yang berlaku (rule of the law), bukan hukum ditentukan oleh besarnya uang yang ditransaksikan sehingga mengarah pada kehidupan ala mafia. Alangkah celaka manakala kehidupan demokrasi semacam ini dipertahankan tanpa koreksi, tanpa instrospeksi, tanpa aksi nyata merubah pola pikir, pola tindak, pola aturan regulasi dan pola kehidupan seluruh anak bangsa dalam berdemokrasi.
Ketika electoral system berbasis nilai etik dan moral sehingga Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa menjadi rujukan maka peluang kandidat pemimpin pemerintahan berasal dari kalangan pesantren akan seimbang dengan kandidat dari unsur lainnya. Nilai keadilan social yang diletakkan sebagai landasan kehidupan termasuk kehidupan politik yang demokratis akan menempatkan para kandidat terseleksi berdasar nilai utama kehidupan yang berlaku di masyarakat. Praktek yang konsisten pada gilirannya akan menghasilkan kandidat terpilih sesuai dengan harapan ideal yang diinginkan mayoritas masyarakat karena tidak lagi bersentuhan dengan filter gelap bernama money politic, sehingga semua pihak akan terhindar dari kekecewaan akibat memilih pengambil keputusan yang memiliki maksud terselubung di balik pengorbanan materialnya (modal pencalonannya) yaitu berlomba-lomba mengembalikan keuntungan dan lalu seringkali kebablasan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari kekuasaan yang dikelolanya.
Kasus Jember dua kali pengasuh Pondok Pesantren duduk dalam elit pemerintahan seperti hanya dimanfaatkan citra diri nilai keluhuran nya saja namun dalam prakteknya tidak memiliki peran signifikan ikut serta mengelola pemerintahan. Akibatnya citra Pondok Pesantren semakin terpuruk, Hampir tidak ada keberpihakan dan kebijakan yang memberi nilai tambah bagi pondok pesantren.

Pengalaman pahit wajib menjadi instrospeksi, koreksi dan wajib melahirkan aksi nyata berupa perubahan pola pikir, pola tindak dan pola strategi dalam menghadapi Pilkada 2024. Berangkat dari Kabupaten Jember, sudah saatnya kita semua membangun kesadaran bahwa melalui pengelolaan kekuasaan yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan melalui pendidikan pondok pesantren yang telah terbukti menghantarkan Bangsa Indonesia ke depan gerbang kemerdekaan.

Perlu menyatukan rasa, cipta dan karsa untuk membangkitkan kembali pendidikan pondok pesantren guna menyelamatkan generasi masa depan bangsa Indonesia sehingga tidak terus menerus terjebak dalam kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai kehidupan yang dapat menggiring ke jurang kehancuran.

Maka jalan praktis dan efektif adalah menempatkan aktivis/alumni Pondok Pesantren menjadi penentu kebijakan yaitu sebagai Kepala Daerah yang menentukan tata kelola kekuasaan atas sumber daya yang besar, dimana dalam konteks Pemerintah Kabupaten Jember sumber daya yang bisa dikerahkan meliputi 20 ribu SDM ASN/honorer, APBD 4 Triliun lebih, dan kewenangan atas sumber daya alam, asset serta potensi Daerah lainnya.

Baca Juga  Shafari Sholat Jumat Camat Arjasa Menyampaikan Bahwa Marbot Masjid Akan Mendapatkan Insentif

Tantangan utama dalam system electoral yang berlaku saat ini bagi kandidat yang berasal dari kalangan pondok pesantren adalah :
1) modal finansial,
2) modal kompetensi dan
3) Modal dukungan politik.

Melihat besaran potensi keseluruhan pondok pesantren di Kabupaten Jember maka tantangan ini dalam jangkauan yang bisa dikelola. Maka sebagai insan yang melekat kekuatan iman, akidah, dan akhlak yang menjadi bagian nilai kehidupan sehari-hari kalangan pondok pesantren perlu mengikatkan diri dalam kesatuan kepentingan memperjuangkan kepentingannya yang selama ini telah diperjuangkan yaitu meningkatkan kualitas dakwah kutural melalui pendidikan salaf yang difasilitasi secara legal formal oleh pemimpin di daerahnya masing-masing. Kesatuan kepentingan ini diharapkan melahirkan rumusan strategi dan pola juang yang sistematis dan berkelanjutan.

Bersatunya insan-insan pondok Pesantren tentu sudah merupakan kekuatan dan berkah tersendiri, terutama manakala motivasi utamanya adalah memenangkan kehendak Allah SWT.
Maka ketika cita-cita menempatkan aktivis/alumni pondok pesantren sebagai kandidat Kepala Daerah yang ketika terpilih nantinya akan mewarnai kebijakan pembinaan, pemberdayaan dan peningkatan kualitas dakwah melalui pendidikan pada Pondok Pesantren selama motivasi memenangkan kehendak Allah SWT sebagai tumpuan yang tidak tergantikan maka insyaAllah izin dan ridho Allah senantiasa mengiringi setiap langkah menuju terwujudnya cita-cita tersebut.
Ketiga tantangan kontestasi yaitu modal finansial, modal kompetensi dan modal dukungan politik akan dipandang sebagai tantangan bersama, yang selanjutnya akan menjadi tanggungjawab bersama untuk mengelola tantangan tersebut sebagai strategi dan aksi nyata yang efektif sampai menghasilkan Kepala daerah berlatar belakang pondok pesantren dan senantiasa dikawal mewujudkan cita-cita pendiri bangsa yang terbukti berkesesuaian dengan ajaran luhur yang berlaku di lingkungan pondok pesantren. Tidakkah dari lubuk hati terdalam kita menyeruak cita-cita tersebut ? Manakala jawabannya “ya”, maka mari kita mulai dari Pilkada 2024. Satukan potensi dan satukan tekad membawa Jember lebih baik. Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis: M. Jaddin Wajad
Editor : Lukman Hakim

Silahkan Login